A. PENGERTIAN DAN SEJARAH MAULID NABI MUHAMMAD
SAW
Pengertian
Maulid
Maulid secara bahasa berarti
tempat atau waktu dilahirkannya seseorang [Boleh juga dikatakan maulid adalah
mashdar (asal kata) bermakna kelahiran (al-wiladah).Ini disebut mashdar mim.
[ed]]. Oleh karena itu, tempat maulid Nabi Shallallahu’alaihi wasallam adalah
Makkah.Sedangkan waktu maulid beliau adalah pada hari Senin bulan Rabi’ul Awwal
pada tahun Gajah tahun 53 SH (Sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan bulan
April tahun 571 M.
Adapun tanggal kelahiran
beliau, maka para ulama berselisih dalam penentuannya. Dan cukuplah hal ini
menjadi tanda dan bukti nyata yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam, para sahabat beliau, dan para ulama setelah mereka,
tidaklah menaruh perhatian besar dalam masalah hari maulid (kelahiran) Nabi
Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Karena seandainya hari maulid beliau
adalah perkara yang penting, memiliki keutamaan yang besar, dan memiliki arti
yang mendalam dalam Islam, maka pasti akan ditegaskan oleh Rasulullah
Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam hadits-hadits beliau, sebagai
konsekuensi dari kesempurnaan Islam dan semangat beliau dalam menunjukkan
kebaikan kepada ummatnya. Juga pasti akan dinukil dari para sahabat tentang
tanggal kelahiran beliau sebagai konsekuensi sikap amanah mereka dalam
menyampaikan ilmu.
Jadi, perbedaan pendapat para
ulama tentang kapan tanggal maulid beliau menunjukkan bahwa tidak ada
keterangan yang jelas dari Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan
tidak pula dari para sahabat beliau Radhiallahu‘anhum tentang masalah ini.
Perselisihan
Pendapat Tentang Maulid (Hari Lahir) Nabi
1. Maulid Nabi adalah tanggal 8
Rabi‘ul Awwal.
Pendapat inilah yang dikuatkan
oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab sebagaimana yang akan
datang, dan juga yang zhahirnya dikuatkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani
Rahimahullah dalam kitab beliau Shahih As-Sirah An-Nabawiah hal. 13. Beliau
berkata dalam ta’liq (catatan kaki), “Adapun waktu hari kelahiran beliau, telah
disebutkan tentangnya dan tentang bulannya oleh beberapa pendapat. Hal ini
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab asal [Yakni kitab Sirah Rasulullahi
Shallallahu‘alaihi wasallam wa Dzikru Ayamihi wa Ghozawatihi wa Saroyahu wal
Wufud Ilaihi karya Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullahu], dan semuanya mu’allaq,
tanpa ada sanad yang bisa diperiksa dan diukur dengan ukuran ilmu mustholah
hadits, kecuali pendapat yang mengatakan bahwa hal itu (hari kelahiran Nabi
-pent.) pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal. Karena (tanggal 8 ini telah diriwayatkan
oleh Malik dan selainnya dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Jubair bin
Muth’im dan beliau adalah seorang tabi’in yang mulia. Dan mungkin karena
inilah, pendapat ini dikuatkan oleh para pakar sejarah dan mereka berpegang
padanya, dan (pendapat) ini yang dipastikan oleh Al-Hafizh Al-Kabir Muhammad
bin Musa Al-Khowarizmy dan juga dikuatkan oleh Abul Khoththob bin Dihyah …”.
2. Maulid Nabi tanggal 9
Rabi‘ul Awwal.
Pengarang Nurul ‘Ainain fii
Sirah Sayyidil Mursalin berkata, hal. 6, “Almarhum Mahmud Basya seorang pakar
ilmu Falak menguatkan bahwa hal itu (hari kelahiran Nabi) adalah pada Subuh
hari Senin, tanggal 9 Rabi’ul Awwal yang bertepatan dengan tanggal 20 April
tahun 571 Miladiyah dan juga bertepatan dengan tahun pertama dari peristiwa
Gajah”.
Syaikh Shafiyyur Rahman
Al-Mubarakfury Hafizhahullah berkata dalam kitab beliau Ar-Rohiqul Makhtum
[Kitab beliau ini meraih peringkat pertama dalam perlombaan mengarang Sirah
Nabawiah yang diadakan oleh Rabithah Al-‘Alam Al-Islamy pada tahun 1399 H],
hal. 54, “Pimpinan para Rasul dilahirkan di lingkungan Bani Hasyim di Mekah
pada subuh hari Senin tanggal 9 bulan Rabi’ul Awwal tahun pertama dari
peristiwa perang Gajah dan bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April
tahun 571 M”.
Pendapat inilah yang dikuatkan
oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid dan Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin
Rahimahumallah.
3. Maulid Nabi adalah tanggal
12 Rabi‘ul Awwal.
Muhammad bin Ishaq bin Yasar
berkata sebagaimana dalam Sirah Nabawiyyah (1/58) karya Ibnu Hisyam
Rahimahullahu, “Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam dilahirkan pada hari
Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun Gajah”.
Akan tetapi pendapat ini
dilemahkan oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullahu.
Dalam kitab beliau Mukhtashar Siratur Rasul, hal.18, beliau menyatakan, “Beliau
‘Alaihis sholatu wassalam dilahirkan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal. Qila
(dikatakan) [Istilah qila (dikatakan) dengan bentuk kalimat pasif di kalangan
para ulama biasa digunakan untuk melemahkan suatu pendapat, dan ini adalah
perkara yang masyhur dan jelas bagi siapa saja yang menelaah kitab-kitab para
ulama], “tanggal 10”, dan qila (dikatakan) : “tanggal 12”, pada hari Senin”.
Kami katakan: Berkaca pada
semua perkataan dan pernyataan di atas, kita bisa lihat bahwa pendapat yang
menyatakan bahwa Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada
tanggal 12 Rabi’ul Awwal sama sekali tidak memiliki landasan hujjah (argumen)
yang kuat. Dan pendapat yang paling mendekati kebenaran -insya Allah- adalah
yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan
pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal karena adanya riwayat dari Muhammad bin Jubair bin
Muth’im Rahimahullahu, kemudian setelahnya adalah pendapat yang dikuatkan oleh
para ahli hadits yang menyatakan bahwa beliau dilahirkan pada tanggal 9 Rabi’ul
Awwal, wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
Yang
Pertama Kali Merayakannya
Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz
At-Tuwaijiry Hafizhahullah berkata, “Yang pertama kali memunculkan bid’ah ini
adalah Bani ‘Ubaid Al-Qaddah yang menamakan diri dengan Al-Fathimiyyun dan
menyandarkan nasab mereka kepada keturunan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu‘anhu.
Padahal sebenarnya, mereka adalah pendiri dakwah bathiniyah. Nenek moyang
mereka Ibnu Daishan yang dikenal dengan nama Al-Qaddah, seorang budak milik
Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq dan salah seorang pendiri mazhab bathiniah di
Irak. Kemudian dia pergi ke negeri Maghrib (Maroko) mengaku sebagai keturunan
‘Uqail bin Abi Thalib. Tatkala kaum ekstrim Syi’ah-Rafidhah bergabung ke
mazhabnya, diapun mengaku sebagai anak Muhammad bin Isma’il bin Ja’far
Ash-Shadiq dan mereka menerima hal tersebut. Padahal Muhammad bin Isma’il
meninggal dalam keadaan tidak memiliki keturunan. Di antara yang mengikutinya
adalah Hamdan Qirmith, yang (firqah) Al-Qaramithah disandarkan kepadanya.
Waktu terus berjalan hingga
muncul dari kalangan mereka seseorang yang bernama Sa’id bin Al-Husain bin
Ahmad bin Abdillah bin Maimun bin Daishan Al-Qaddah, yang kemudian mengubah
nama dan nasabnya. Dia berkata kepada pengikutnya, “Saya adalah ‘Ubaidullah
[Para pengikutnya kemudian dikenal dengan nama Al-‘Ubaidiyyun (pengikut
Ubaidullah)] bin Al-Hasan bin Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash-Shadiq”
sehingga meluaslah fitnah (malapetaka)nya di Maghrib” [Al-Bida’ Al-Hauliyyah
hal. 137-139].
Berikut perkataan beberapa
ulama dalam mengingkari penisbahan mereka kepada ahlil bait (keturunan
Rasulullah):
Ibnu Khallikan Rahimahullahu
berkata sebagaimana dalam Al-Bida’ Al-Hauliyyah, hal.139, “Pakar ilmu nasab
dari kalangan muhaqqiqin mengingkari pengakuan dia (Ubaidullah) kepada nasab
(ahlil bait) tersebut”.
Ibnu Katsir Rahimahullahu
berkata, “Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah
kepada Ubaidillah bin Maimun Al-Qaddah, seorang Yahudi yang memerintah di Mesir
dari tahun 357–567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Di antaranya
perayaan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam” [Al-Bidayah
11/127].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (35/120), “Telah diketahui bahwa
jumhur (kebanyakan) manusia mengingkari penisbahan mereka serta mereka (jumhur)
menyebutkan bahwa mereka (Al-Ubaidiyyun) merupakan anak keturunan Majusi atau
yahudi. Perkara ini masyhur berdasarkan persaksian para ulama dari berbagai
kelompok ; Al-Hanafiah, Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, Ahlil
Hadits, Ahlil kalam, pakar nasab, orang awwam dan selain mereka”.
Pada tempat lain (25/120-132) beliau menyebutkan beberapa ulama yang lain seperti:
Pada tempat lain (25/120-132) beliau menyebutkan beberapa ulama yang lain seperti:
Ibnul Atsir Al-Maushily dalam
Tarikhnya, beliau menyebutkan sesuatu yang ditulis oleh para ulama kaum
muslimin dalam tulisan-tulisan mereka langsung dalam mengkritik penisbahan
mereka.
Ibnul Jauzy.
Abu Syamah dalam kitabnya Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits.
Al-Qadhy Abu Bakr Muhammad bin Ath-Thayyib Al-Baqillany dalam kitab beliau yang masyhur yang berjudul Kasyful Asrar wa Hatkul Astar. Dia menyebutkan bahwa mereka adalah dari keturunan Majusi.
Al-Qadhy Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain Al-Farra`, seorang ulama’ Al-Hanabilah dalam kitab beliau Al-Mu’tamad.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazaly dalam kitab beliau yang berjudul Fadha`ilul Mustazhharah wa Fadha`ihul Bathiniyyah.
Al-Qadhy Abdul Jabbar bin Ahmad Al-Hamadzany dan yang semisal dengannya dari kalangan ahli kalam Mu’tazilah.
Ibnul Jauzy.
Abu Syamah dalam kitabnya Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits.
Al-Qadhy Abu Bakr Muhammad bin Ath-Thayyib Al-Baqillany dalam kitab beliau yang masyhur yang berjudul Kasyful Asrar wa Hatkul Astar. Dia menyebutkan bahwa mereka adalah dari keturunan Majusi.
Al-Qadhy Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain Al-Farra`, seorang ulama’ Al-Hanabilah dalam kitab beliau Al-Mu’tamad.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazaly dalam kitab beliau yang berjudul Fadha`ilul Mustazhharah wa Fadha`ihul Bathiniyyah.
Al-Qadhy Abdul Jabbar bin Ahmad Al-Hamadzany dan yang semisal dengannya dari kalangan ahli kalam Mu’tazilah.
Kemudian, bid’ah perayaan hari
lahir (ulang tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi (maulid) secara
khusus, tidaklah muncul kecuali pada zaman Al-Ubaidiyyun pada tahun 362 H.
Tidak ada seorangpun yang mendahului mereka dalam merayakan maulid ini.
Taqiyyuddin Al-Maqrizy
Rahimahullahu berkata dalam Al-Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khuthath wal
Atsar (1/490) di bawah judul ‘Penyebutan Hari-Hari yang Dijadikan Sebagai Hari
Raya oleh Khilafah Al-Fathimiyyun…’, “Khilafah Al-Fathimiyyun sepanjang tahun
memiliki beberapa hari raya dan hari peringatan, yaitu : Perayaan akhir tahun,
perayaan awal tahun (tahun baru), hari ‘Asyura`, perayaan maulid (hari lahir)
Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maulid Ali, maulid Al-Hasan,
maulid Al-Husain, maulid Fathimah -Radhiyallahu ‘anhum-, perayaan maulid (ulang
tahun) khalifah saat itu, perayaan malam pertama dan pertengahan bulan Rajab,
malam pertama serta pertengahan dari bulan Sya’ban, …”.
Juga telah berlalu keterangan
dari Ibnu Katsir Rahimahullahu dalam masalah ini ketika beliau mengingkari penisbahan
mereka (Al-Ubaidiyyun) kepada ahlil bait.
Maka hal ini merupakan
persaksian yang sangat jelas dan gamblang dari beliau berdua -padahal
Al-Maqrizy adalah termasuk para ulama yang menetapkan dan membela penisbahan
mereka kepada keturunan Ali bin Abi Thalib- bahwa Al-Ubaidiyyun adalah sebab
turunnya musibah ini (perayaan bid’ah maulid) atas kaum muslimin serta
merekalah yang membuka pintu-pintu perayaan bid’ah dengan berbagai macam
bentuknya.
Pendapat ini (bahwa yang
memulai perayaan maulid adalah Al-Bathiniyyah) telah dikuatkan oleh sejumlah
ulama belakangan. Berikut nama-nama beserta perkataan mereka:
Mufti Negeri Mesir, Syaikh
Muhammad bin Bukhaith Al-Muthi’iy Rahimahullahu berkata, “Termasuk
perkara-perkara yang baru muncul dan banyak pertanyaaan tentangnya adalah
masalah perayaan-perayaan maulid (ulang tahun). Maka kami katakan bahwa
sesungguhnya yang pertama kali memunculkannya di Qahirah (baca: Kairo) adalah
khilafah Al-Fathimiyyun dan yang pertama kali dari kalangan mereka adalah orang
yang bernama Al-Mu’izz Lidinillah …” [Ahsanul Kalam fii ma Tata’allaqu bis
Sunnah wal Bid’ah minal Ahkam hal. 44].
Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqy
Rahimahullahu berkata dalam ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Syaikhul
Islam Al-Iqtidho`, hal.294, “… bahkan tidak ada yang memunculkan hari-hari raya
kesyirikan ini kecuali Al-‘Ubaidiyyun yang ummat telah bersepakat akan
kemunafikan mereka dan bahwa mereka lebih kafir daripada Yahudi dan Nasrani dan
bahwa mereka adalah musibah atas kaum muslimin.Kaum muslimin menyimpang dari
jalan yang lurus lewat tangan-tangan, dan susupan-susupan mereka serta sesuatu
yang mereka masukkan ke dalam ummat ini berupa racun-racun Shufiyah (tashowwuf)
yang busuk”.
Syaikh Muqbil bin Hady
Rahimahullahu, Syaikh Ahmad An-Najmy, dan Syaikh Shalih Al-Fauzan
-hafizhahumallah- juga menetapkan hal yang sama sebagaimana akan datang
perkataan mereka pada bab ketiga belas ketika menyebutkan perkataan para ulama
tentang bid’ahnya perayaan maulid.
Syaikh ‘Uqail bin Muhammad bin
Zaid Al-Maqthiry Al-Yamany berkata, “Yang pertama kali memunculkannya -yaitu
perayaan maulid- di Kairo adalah Al-Mu’izz Lidinillah Al-Fathimy pada tahun 362
H dan terus berlangsung sampai dihapuskan oleh Al-Afdhal, Panglima pasukan
perang Badrul Jamaly pada tahun 488 H pada zaman pemerintahan Al-Musta’ly
Billah. Tatkala khilafah Al-Amir bi Ahkamillah bin Al-Musta’ly berkuasa pada
tahun 495 H, perayaan maulidpun kembali dirayakan” [Al-Maurid fii Hukmil
Ihtifal bil Maulid hal 8-9].
Nampak dari nukilan-nukilan
tadi bahwa yang pertama kali mengerjakan amalan bid’ah ini (perayaan maulid)
adalah Al-Ubaidiyyun alias Al-Fathimiyyun yang bermazhab bathiniyah.Mereka ini
ingin mengubah agama kaum muslimin, memasukkan ke dalam agama Islam sesuatu
yang bukan darinya, dan menjauhkan kaum muslimin dari agamanya yang sebenarnya.
Karena menyibukkan manusia dengan melakukan berbagai amalan bid’ah adalah cara
termudah untuk mematikan sunnah Nabi -Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam- yang suci dan menjauhkan manusia dari syari’at Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang penuh dengan kemudahan.
Adapun yang dinukil dari
sekelompok ulama seperti Ibnu Katsir, Ibnu Khallikan, dan As-Suyuthy dan
diikuti oleh beberapa ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
Asy-Syaikh dan Syaikh Hamud At-Tuwaijiry bahwa yang pertama kali merayakan
maulid Nabi adalah raja Irbil Muzhaffaruddin Abu Sa’id Al-Kaukabury bin Abil
Hasan Ali bin Bakatkin di akhir abad keenam atau awal abad ketujuh Hijriah,
maka pernyataan mereka ini dibawa (baca: diarahkan maknanya) kepada perkataan
Abu Syamah Abdurrahman bin Isma‘il Al-Maqdisy dalam kitabnya Al-Ba’its ‘ala
Ingkaril Bida’ wal Hawadits hal. 31 ketika beliau berkata, “Sesungguhnya yang
pertama kali merayakannya di Maushil adalah Syaikh Umar bin Muhammad Al-Mulla,
salah seorang dari kalangan orang shalih yang terkenal [Amalan orang yang
dianggap shalih ini menunjukkan kebodohan dia terhadap sunnah Nabinya
-Shallallahu'alaihi wasallam-. Demikianlah keadaan kebanyakan bid’ah, syaithan
masukkannya ke dalam Islam dengan perantaraan orang-orang yang dianggap shalih,
akan tetapi bodoh dan berpaling dari mempelajari agama Allah Subhanahu wa
Ta’ala, Wallahul Musta’an], yang kemudian diikuti (dalam merayakannya) oleh
raja Irbil”.
Maka kita lihat, apa yang
beliau sebutkan tentang orang yang pertama kali merayakannya hanya terbatas di
negeri Maushil. Ini tidaklah menunjukkan bahwa yang pertama kali merayakannya
secara mutlak adalah raja Irbil, karena telah berlalu bahwa yang pertama kali
merayakannya adalah Al-Fathimiyyun dari kalangan Al-Bathiniyyah.Sehingga dengan
demikian, pernyataan yang dinukil dari Ibnu Katsir dan yang mengikuti beliau
ini tidaklah bertentangan dengan pembahasan yang telah kami terangkan di atas.
Termasuk perkara yang
menguatkan bahwa Al-Ubaidiyyun Al-Fathimiyyun Al-Bathiniyyun telah mendahului
raja Irbil dalam merayakan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam adalah bahwa
Al-Mu’izz Lidinillah yang bernama Ma’ad bin Abdillah Al-Fathimy datang ke
Qahirah pada bulan Ramadhan tahun 362 H. Sedang tahun itu merupakan awal
pemerintahan mereka (Al-Fathimiyyun) di Mesir. Khalifah yang terakhir dari
mereka adalah Al-‘Adhid Abdullah bin Yusuf, meninggal pada tahun 567 H. Adapun
Muzhaffaruddin -Raja Irbil-, maka dia dilahirkan pada tahun 549 H dan meninggal
tahun 630 H. Jadi, ini merupakan bukti nyata bahwa raja Irbil telah didahului
oleh Al-Ubaidiyyun dalam merayakan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam
sekitar 2 abad sebelumnya, wallahu A’lam.
Untuk lebih memperjelas
masalah, berikut kami sebutkan beberapa pemikiran bathiniyah beserta nukilkan
beberapa komentar ulama tentang kebejatan mereka terhadap Islam dan kaum
muslimin, yang mana pada gilirannya hal ini akan mengungkap hakekat dari perayaan
maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang mereka munculkan:
Mereka meyakini bahwa Ali bin
Abi Thalib adalah sembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka melakukan tahrif ma’nawy
(penyelewengan makna) terhadap ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala (memalingkan
makna ayat dari makna sebenarnya yang zhahir kepada makna yang tidak masuk
akal, yang mereka anggap sebagai batin ayat tersebut). Ini merupakan
sejelek-jelek tahrif. Contohnya mereka menafsirkan ayat:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
“Binasalah kedua tangan Abu
Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”. (QS. Al-Lahab : 1)
Mereka menafsirkan ‘dua tangan’ yaitu Abu Bakar dan Umar -Radhiyallahu ‘anhuma-.
Mereka menafsirkan ‘dua tangan’ yaitu Abu Bakar dan Umar -Radhiyallahu ‘anhuma-.
Mereka berkeyakinan bahwa semua
syari’at dan aturan dalam Islam memiliki zhahir dan batin.Yang zhahir -menurut
mereka- adalah kaifiyat/cara yang diamalkan oleh kaum muslimin pada umumnya.
Sedangkan yang batin adalah suatu cara yang hanya diketahui oleh kalangan
mereka sendiri dan hanya boleh diamalkan oleh orang-orang khusus yaitu mereka.
Contohnya shalat lima waktu; zhahirnya adalah dengan mengerjakan sholat,
sedangkan batinnya -dan hanya ini yang mereka amalkan- adalah mengetahui
rahasia-rahasia mazhab mereka. Jadi, siapa yang telah mengetahui
rahasia-rahasia tersebut, maka dia sudah dianggap melaksanakan shalat walaupun
tidak melakukan gerakan-gerakan shalat.Puasa batinnya adalah menyembunyikankan
rahasia-rahasia kelompok mereka.Batinnya ibadah haji -menurut mereka- adalah
menziarahi kuburan guru-guru mereka, dan seterusnya. Inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un, maka apakah masih ada ajaran agama yang tersisa dengan
keyakinan mereka ini ?!.
Ibnu Katsir Rahimahullahu menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah (11/286-287) bahwa pada tahun 402 H, sejumlah ulama, para hakim, orang-orang terpandang, orang-orang yang adil, orang-orang shalih, dan para ahli fiqh, mereka semua telah menulis sebuah tulisan yang berisi pencacatan dan celaan pada nasab keturunan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun. Mereka menyebutkan dalam tulisan tersebut beberapa pemikiran sesat mereka, di antaranya: Mereka telah menelantarkan aturan-aturan, menghalalkan kemaluan (zina), menghalalkan khamr, menumpahkan darah, mencerca para nabi, melaknat Salaf (para sahabat Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan pengikutnya) serta mereka mengaku bahwa guru-guru mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu pernah ditanya tentang mereka. Beliau menjawab bahwa mereka adalah termasuk manusia yang paling fasik dan yang paling kafir, dan bahwa siapa saja yang mempersaksikan keimanan dan ketakwaan bagi mereka serta (mempersaksikan) benarnya nasab keturunan mereka (kepada Ali bin Abi Thalib) maka sungguh dia telah mempersaksikan untuk mereka dengan perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
Ibnu Katsir Rahimahullahu menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah (11/286-287) bahwa pada tahun 402 H, sejumlah ulama, para hakim, orang-orang terpandang, orang-orang yang adil, orang-orang shalih, dan para ahli fiqh, mereka semua telah menulis sebuah tulisan yang berisi pencacatan dan celaan pada nasab keturunan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun. Mereka menyebutkan dalam tulisan tersebut beberapa pemikiran sesat mereka, di antaranya: Mereka telah menelantarkan aturan-aturan, menghalalkan kemaluan (zina), menghalalkan khamr, menumpahkan darah, mencerca para nabi, melaknat Salaf (para sahabat Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan pengikutnya) serta mereka mengaku bahwa guru-guru mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu pernah ditanya tentang mereka. Beliau menjawab bahwa mereka adalah termasuk manusia yang paling fasik dan yang paling kafir, dan bahwa siapa saja yang mempersaksikan keimanan dan ketakwaan bagi mereka serta (mempersaksikan) benarnya nasab keturunan mereka (kepada Ali bin Abi Thalib) maka sungguh dia telah mempersaksikan untuk mereka dengan perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”. (QS.
Al-Isra`: 36)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“… Kecuali orang-orang yang bersaksi dalam keadaan mereka mengetahui (apa yang mereka persaksikan)”. (QS. Az-Zukhruf : 86)” [Majmu’ Al-Fatawa (22/120)].
“… Kecuali orang-orang yang bersaksi dalam keadaan mereka mengetahui (apa yang mereka persaksikan)”. (QS. Az-Zukhruf : 86)” [Majmu’ Al-Fatawa (22/120)].
Dari seluruh
keterangan-keterangan di atas, telah nampak jelas bagi setiap orang yang
menginginkan kebenaran bahwa perayaan hari maulid (ulang tahun) secara umum dan
maulid Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam secara khusus
bukanlah termasuk bagian dari ajaran Islam sama sekali. Hal ini kita bisa
tinjau dari tiga sisi:
Perayaan maulid Nabi setiap
tanggal 12 Rabi’ul Awwal sama sekali tidak memiliki landasan sejarah yang kuat
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid
dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahumallahu Ta’ala- [Telah
berlalu pernyataan kedua ulama ini ketika membawakan pendapat-pendapat dan
khilaf para ulama seputar tanggal kelahiran Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam].
Jadi, bagaimana bisa dikatakan perayaan ini memiliki landasan/asal dari
syari’at Islam ?!
Perayaan Maulid Nabi
Shallallahu‘alaihi wasallam ini tidaklah muncul kecuali setelah berakhirnya
zaman-zaman keutamaan (zaman para sahabat, tabi’in, dan yang mengikuti mereka).
Maulid tidaklah pernah dikerjakan oleh para sahabat, tidak pula para tabi’in,
serta tidak juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sebagaimana yang
akan kami pertegas pada bab ketiga belas dalam buku ini.
Sesungguhnya yang pertama kali
memunculkan bid’ah maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam ini adalah suatu
kaum yang disepakati oleh seluruh ulama Islam tentang kekafiran dan kemunafikan
mereka.Mereka adalah Al-Bathiniyyah yang ingin mengubah agama kaum muslimin dan
memasukkan ke dalamnya perkara-perkara yang tidak termasuk dalam agama mereka.
{Rujukan: Al-Qaulul Fashl fii
Hukmil Ihtifal bi Maulidi Khairir Rasul hal. 64-72, Al-Maurid fii Hukmil
Ihtifal bil Maulid hal. 7-9 dan Al-Bida’ Al-Hauliyah hal. 137-151}
[Dinukil dari Buku Studi Kritis
Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Ustadz Hammad Abu
Muawiyah, cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007]
B. TUJUAN
MEMPERINGATI MAULID NABI
1. memperingati hari kelahiran Nabi, tetapi juga memperingati hari beliau hijrah
ke Madinah, dan juga mengingatkan hari wafatnya Rasulullah.
Dengan kata lain, tanggal dua belas Rabiul Awal merupakan hari mengingat
sejarah kehidupan Rasulullah dari sejak
kelahiran sampai kembalinya beliau ke sisi Allah swt.
2. Untuk membangkitkan semangat umat Islam hanya
dengan satu cara yaitu menceritakan dan mengingat kembali bagaimana kisah dan
sejarah kepribadian Rasulullah.
3. mengakui bahwa kualitas hidup mereka selalu
bercermin dengan pribadi Rasulullah sehingga
menceritakan kehidupan Rasul merupakan
tradisi yang diberikan kepada anak-anak mereka sehingga menjadi generasi
berkualitas. Berarti sejarah nabi merupakan
buah bibir
4. untuk mengembalikan semangat dan motivasi umat
Islam sehingga dapat meraih .
C.MANFAAT DARI MAULID NABI
- Setiap tahun muslimin akan mengingat kembali rasul yang akan menambah kecintaan mereka kpd beliau
- Mereka dapat memetik pelajaran hikmah nasehat yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
- Dengan menampakkan kesenangan di hari kelahiran beliau kita akan menguatkan keimanan kita terhadap beliau
- Dalam perosesi semacam ini banyak ayat-ayat dan riwayat yang tersampaikan yang dapat menyucikan mata hati
- Kesempatan yang baik untuk membaca shalawat kepada beliau yang sudah diajarkan oleh Allah sendiri
- Kesempatan yang tepat untuk kembali mengajak manusia kepada ajaran2 beliau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar